Sabtu, 12 September 2009

Karya : Goenawan Mohamad #1

GATOLOCO

Aku bangun dengan 7.000.000 sistim matahari
bersatu pada suatu pagi.

Beri aku es! Teriakku.
Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu.

Keringatku tetes. Gusti, apakah yang telah terjadi?
“Tak ada yang terjadi. Aku datang kemari.”

Memang kamar seperti dulu kembali.
Kulihat kusam sawang pada kisi-kisi.

Kulihat bekas hangus, tahi tikus.
Kulihat mata kelelawar.

Kulihat puntung separuh terbakar.
Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku
pada kaca almari itu.

Tapi di luar tak ada angin, hanya awan lain.
Tak ada getar, hanya gerak. Tak ada warna,
hanya cahaya. Tak ada kontras, hanya …

“Jangan cemas,” gurau-Mu. “Aku tak ‘kan menembakkan pistol
ke pelipismu yang tolol.”

Tapi Kau datang kemari untuk menggugatku.
“Jadi kau tahu Aku datang untuk menggugatmu.”

Mimpikah aku? Mengapa tak tenang tempurung kepala
oleh celoteh itu?
“Celoteh dan cerewetmu!” tiba-tiba Kau menudingku.

Sesaat kudengar di luar gerimis kosong, sekejap
lewat bukit yang kosong. Sesaat kudengar suaraku.

Ah, kefasihanku. Tiba-tiba aku membenci itu.
Aku memang telah menyebut nama-Mu.

“Kau tak menyebut nama-Ku, kau menyebut namamu.”
Makin suram kini suara-Mu.

Hei, berangkatlah dari sini! Aku tahu ini hanya mimpi!
“Tidak. Ini bukan mimpi.”

Kalau begitu inilah upacara-Mu.
“Benar, inilah upacara-Ku.”

Ya, barangkali aku telah tak peduli selama ini.
Tapi apakah yang Kau kehendaki? Mengembalikan posisiku
pada debu, kembali?

“Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pad kitab
dan kertas-kertas dan kepinding yang mati setiap pagi hari.
Padamu sendiri.”
Kini aku tahu. Aku milik-Mu.
“Dan Aku bukan milikmu.”

Aku memang bukan santri, bukan pula ahli.
“Mengapa kau kini persoalkan perkara itu lagi?
Kau hanya pandai untuk tak mengerti.”

Oke. Kini aku mencoba untuk mengerti. Ternyata Kau tetap
ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
argumentasi. Tapi mengapa Kau tetap di sini?

“Sebab Kulihat matamu basah dan sarat.”
Ah, begitukan yang Kau lihat?

Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan
garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas
dalam butir yang miskin. Ada baris-baris buram,
seolah kelam terkena oleh bulan.

Dan kurasa angin terjirat. Kudengar hujan yang gagal.
Langit berat. Dan panas lembab dalam ruang yang sengal.

“Agaknya telah sampai batasmu.”
Aku tahu.

“Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi.”
Artinya dari kamar ini mungkin aku tak akan berangkat lagi.

“Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”
Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.

Tak bisa berkeliling, seperti penjual obat, seperti pendebat.”
Tak bisa lagi berkeliling.

“Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,
memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya
pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
pongah, dengan karcis dua jurusan.

Sebab aku hanya seorang turis, tak lebih dari itu?
Gusti, beranjaklah dari sini. Telah Kau cemoohkan tangis
pada mataku.


1973, Goenawan Mohamad



Bookmark and Share

0 comments:

The Next Best Thing

Football Stories

Kuta Karnival

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP